Minggu, 08 Juni 2014

Before Dawn

foto oleh @muzanikah


Suatu siang di Perpustakaan Pusat UGM saya iseng, mengetikkan kata kunci Suroloyo di mesin pencari. Dalam hitungan sepersekian detik kemudian, muncul berbagai tautan yang mengarahkan untuk mengenal lebih jauh lagi keindahan, puncak dari barisan Pegunungan Menoreh di kawasan barat D. I Yogykarta ini. Saya pilih tautan dari national geographic, yang pasti punya kualitas visual bagus –soal visual ini penting sekali sebagai iming-iming supaya teman-teman tertarik pergi –dan ulasan yang lumayan, lalu tautan itu dikirimkan ke grup IRMAK. Dan voilllaaaa, respon bermunculan, semangat untuk naik (pe)gunung(an) bertemu dengan semangat dari kawan yang lain. Singkat cerita, persiapan dilakukan kilat via sms dan kami sepakat untuk berangkat pukul 03.00 pada tanggal 31 Mei lalu, membawa misi mendapatkan pemandangan matahari terbit.

Sebelum tidur, saya pastikan ngeset alarm, 02.30. Sekaligus membuat kesepakatan dengan Nurma untuk saling miscall jika sudah bangun. Persis, 02.30 saya bangun –tapi ya gitu deh kalau soal alarm, saya pasti bangun, sekadar untuk mematikan dan lanjut tidur lagi, hehe. Tak lama kemudian nama Nurma tertera di layar hp. Lalu, saya mengetik, sudah bangun.

Sedikit cuci muka, gosok gigi, lalu salat tahajud sederhana dengan dua rakaat. Saya bergegas ganti pakaian. Lalu menulis surat pendek “Aku berangkat ya.” Lalu secarik kertas itu saya alamatkan ke pintu kamar bapak dan ibu, supaya keduanya tidak terganggu. Kemudian, bergegas ke rumah Nurma karena katanya teman-teman yang lain sudah menunggu. Sampai di sana, sudah ada Mas Sofyan, Mas Zani, dan Inan. Sementara, Nurma dan Nisa sedang menggerebek rumah Rini –tanpa kamera dan kru tentu saja.

Pukul 04.00 setelah berpamitan pada ibu Nurma dan Rini, kami pergi. Jangan tanya seperti apa jalanan pagi itu, tentu saja, lengang, gelap, dan udara dingin langsung menyergap kami. Tapi semangat mengalahkan semuanya. Duduk di boncengan Nurma, yang melaju dengan kecepatan hampir 80 km/jam saya bersyukur sekali bisa pergi pagi itu.

Bagi saya, perjalanan ini bukan sekadar soal jalan-jalan, ini pembebasan. Pergi jalan-jalan ketika adzan subuh saja belum berkumandang, ini adalah kali pertama. Jalan-jalan bersama kawan menuju sebuah bulan yang sibuk, Juni, menjadi pembebasan jiwa dari himpitan tugas, deadline, dan tanggung jawab yang menunggu di depan mata. Dan pergi bersama kawan-kawan yang sudah menemanimu selama hampir sepanjang hidupmu, tak ada hal yang lebih baik dari itu.

Sampai di perempatan (?) Gedongan, motor Inan sang penunjuk jalan, memberikan tanda belok kanan menuju Minggir. Kami mengekor saja. Lepas dari jembatan Kreo, kami terus menanjak. Makin dekat puncak jalan makin menanjak, makin berat. Tapi ya begitulah, lagi-lagi soal tekad. Tiba-tiba inga kutipan dari novel dan film 5 cm, untuk sampai ke puncak cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa. Sampai juga kami di tempat parkir, sekitar pukul 05.15.

Waktu salat subuh hampir habis, maka kami berbegas untuk wudhu. Lalu, naik, ke pendopo pertama, dan menggela sajadah juga jaket sebagai alas. Mas Zani memimpin salat kami pagi itu. salat subuh di ketinggian dan setelah melalui perjalanan panjang, rasanya memang berbeda. Ada rasa syahdu yang diam-diam menyusup di dada. Salat subuh yang sangat berkesan. Selepas itu kami langsung naik karena semburat merah sudah terbentang di ufuk timur, karenanya kami harus bergegas ke puncak.

Rini terlihat akrab dengan arca di puncak.


Sesampainya, di atas, saya sediri sih ngos-ngosan dan langsung mencari tempat duduk untuk mengembalikan nafas. Sementara, teman yang lain, langsung mengeluarkan kamera dan menyiapkan pose terbaik. Maka, selama di puncak dihabiskan dengan foto-foto sepuasnya sengan berbagai pose dan angel.



dari belakang: Inan, Mas Sofyan, Nisa, Nurma, saya, Rini, dan Mas Zani



“Yuk ah turun, lapar, cari soto lho,” Inan sudah ribut. Maka kami tak tega melihatnya kelaparan, lalu kami turun.

sembari nunggu makan soto, minum dulu utk ngganjel perut :p


Teman-teman yang lain masih sibuk foto sembari turun. Saya dan Inan turun duluan.

“Enteng ya turunnya ga kayak naik tadi,” kata saya membuka perbincangan.

“Ya memang begitu hukum fisikanya,” kata Inan menanggapi.

“Ya, mungkin memang begitu sunatullahnya ya. Pantas saja, dalam hidup juga begitu. Susah payah mendaki untuk menikmati keindahan dari ketinggian. Tapi turun, mudah sekali, tanpa ujian.”

“Begitulah.”


foto dulu sebelum pulang


Setelah semua siap, kami pulang, dengan mampir ke warung soto lebih dahulu.
Begitulah, perjalanan mengenal alam adalah sebuah cara menyenangkan untuk belajar mengagumi hidup dan tentu saja Penciptanya.

mengabulkan permintaan Inan. 


Ditulis oleh Linggar Arum S di Bulaksumur-Sedayu sebagai refleksi pribadi, ketika berupaya memanggil rasa bahagia yang sama untuk menghibur diri sendiri. 02-07 Juni.